(Oleh: Bagus Ilham Zamroni)
Nyadran berasal dari bahasa sansekerta “Sraddha" yang memiliki makna ziarah kubur. Tradisi yang identik dengan Adat Jawa ini menjadi sebuah budaya yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat jawa. Tradisi ini awalnya dilakukan sekitar tahun 1284 di kerajaan Majapahit yang dulunya berarti keyakinan. Dalam melaksanakan Sraddha menggunakan pujian dan persembahan sebagai perlengkapan dari ritual. Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh Ratu Tribuana Tungga Dewi sebagai Raja Majapahit waktu itu (Julianto, et al., 2021: 831).
Desa Sekar secara geografis terletak di Kecamatan Sekar, Kabupaten Bojonegoro. Desa yang menjadi ujung Kabupaten Bojonegoro bagian selatan ini memiliki 5 bagian dusun. Desa ini menjadi salah satu desa yang masih sangat menjunjung nilai kerukunan, gotong royong dan kebersamaan. Mayoritas penduduk di desa ini beragama Islam dan memiliki mata pencaharian sebagai Petani. Tidak sedikit penduduk di desa ini yang masih melestarikan dan melakukan praktek tradisi adat jawa. Mereka menjadikan adat jawa sebagai pakem hidupnya untuk bersosial dan saling menjaga kerukunan antar satu sama lain. Tradisi adat jawa yang masih dipraktekkan hingga sekarang salah satunya yakni Nyadran.
Nyadran atau sedekah bumi ini dilaksanakan setelah panen raya. Berdasarkan wawancara dengan Pak Sugeng selaku Modin di Desa Sekar, Beliau mengatakan bahwa tanggal pelaksanaannya masih menggunakan perhitungan tanggalan jawa. “Setelah panen raya cari tanggal Jumat Pahing yang sekiranya Ringkel-nya bagus, wuku-nya bagus, jadi ga ada tanggal tepatnya kapan.” Ujar Pak Sugeng ketika saya wawancara. Beliau juga mengatakan bahwa di Desa Sekar ini juga tidak semua sama dalam tanggal pelaksanaanya, “Biasanya Dusun Gendongan pakai Jumat Kliwon.” Jelas Pak Sugeng. Tempat pelaksanaan Nyadran tidak terpusat di satu tempat. Ada beberapa lokasi yang dijadikan tempat dalam pelaksanaan Nyadran di Desa Sekar, “ Ada yang di Sendang, ada yang di makam Mbah Joyo, tergantung lingkungan, mas. Kalau di Sendang ya menghormati sama yang mangku sendang karena sudah memberikan pengairan, kalau di Makam Mbah Joyo itu karena Beliau yang babat alas di Sekar ini.” Jelas Pak Sugeng.
Kearifan lokal yang melekat di masyarakat Desa Sekar ini pun menjadi sebuah hal yang seakan tidak ada pertentangan dengan agama. Karena memang antara tradisi nyadran dan syariat agama islam memiliki nilai yang mampu menjadikannya beriringan. Dalam pelaksanaan nyadran sendiri ada momen yang memang dimaknai sebagai wadah atau momentum untuk saling berbagi dan rasa syukur atas nikmat alam semesta dari Tuhan. Saat setiap warga yang membawa ambeng untuk nantinya akan dinikmati secara bersama dengan warga lainnya dengan saling bertukar makanan yang dibawa agar mereka saling menikmati satu sama lain.
Simbol penghormatan kepada leluhur mereka dan kepada alam juga menjadi poin implementasi rasa syukur mereka terhadap kekayaan dan perjuangan para leluhur mereka atas apa yang mereka nikmati sekarang. “Ya harus merasakan dan tau bagaimana proses dan pelaksanaan serta makna-makna yang ada di dalam nyadran mas. Kita juga tidak mau dipandang menyekutukan Allah, Lah Wong kita mintanya juga sama Allah.” Tegas Pak Sugeng ketika saya menanyakan tentang pandangan orang yang menganggap nyadran ini sebuah penyimpangan agama.
Perkembangan antara dua ranah yang berbeda atas adat dan agama ini cukup pesat dalam perkembangannya. “Sekarang pelaksanaan nyadran sudah diselingi dengan ceramah dan doa-doa yang mengacu pada ajaran agama islam, mas” Ucap Pak Zain selaku pemuka agama di Desa Sekar. Masyarakat Desa Sekar sendiri menganggap agama dan adat tradisi ini bisa berjalan beriringan tanpa menjadikan asimilasi pada satu sisi. memang perlu proses dan kesepakatan dalam menjadikan dua hal ini berjalan beriringan. Namun, pada akhirnya masyarakat juga mementingkan akan ketahanan atas kearifan lokal yang ada sejak lama dan tidak juga menjadikan agama sebagai pedoman dalam pelaksanaan adat tradisi tersebut dengan modifikasi dan kesepakatan bersama tanpa menghilangkan esensi satu sama lain. (HFT)